Harus diakui kelihaian SBY mempengaruhi media adalah
salahsatu kunci utama kesukesesannya dalam memperpanjang masa tinggalnya
di Istana Merdeka, selain alat provokasi opini semacam lembaga survey
yang tidak objektif tentu saja.
Awalnya SBY ditempatkan media sebagai orang yang teraniaya ketika
memulai perburuannya menjadi RI-1, kemudian masih menjadi tren selama
menjabat hingga perebutan kekuasaan untuk periode keduanya
mempertahankan kursi emasnya di Merdeka Utara.
Tetapi, seandainya kita jeli dan Objektif memandang masalah dan keadaan,
terutama peranan media dalam melambungkan SBY, kita akan menyadari
siapa sesungguhnya yang teraniaya.
Saya melihat
Megawati Soekaroputri adalah
korban kekejaman media yang tidak netral dan seimbang dalam segala
pemberitaannya. Memang Mbak Mega bukan orang yang memiliki jaringan
selayaknya beberapa orang yang mengelilingi SBY.
Tetapi para pemimpin redaksi media-media yang berpengaruh di negeri ini
seolah berjamaah dalam memojokkan Mega yang dianggap hanya Ibu rumah
tangga yang beruntung.
Kekejaman media yang saya maksud sebenarnya merujuk pada kebiasaan
mereka yang selalu mengaitkan dan membandingkan kegagalan Mega serta
menyembunyikan keberhasilannya dengan kesuksesan SBY.
Hal yang paling sering kita lihat dan dengar terkait keberpihakan media
adalah dimana mereka selalu menempatkan dan mengkondisikan Mega sebagai
seorang tokoh yang Keras Kepala, Bodoh, Pendendam, Tidak Legowo,
Feodalis, Pemikirannya sempit,Tidak Negarawan, Emosional, dst…
TETAPI… pernahkah anda sadari bahwa selama ini Mega tidak pernah
menjawab dan membela diri atas segala tuduhan dan penokohan yang
dialamatkan media - media itu kepadanya?
Mega tidak reaktif seperti SBY yang selalu kebakaran jenggot dan
membesarkan masalah kecil jika ada kritik dari rival-rival politiknya
terutama dari kalangan PDIP.
Mega selalu diam dan sepertinya tidak pernah menjelaskan segala sesuatu
terkait pemberitaan miring tentang dirinya karena ia tidak merasa
seperti yang di kondisikan negatif oleh para media yang didukung para
pengamat.
Mega tidak memberikan alasan ketidakhadirannya di acara pelantikan
Presiden waktu lalu, Mega tidak memberi ucapan selamat, Mega tidak
memberi keterangan pers tentang sikap PDIP terkait kabinet baru. Dan
absennya Mega di acara pelantikan itu dijadikan media, pengamat pro
pemerintah dan lawan-lawan politik
Mega sebagai pembenaran akan ‘kekerdilan perangai’ wanita berpengaruh itu.
PADAHAL… diamnya
Mega dan ketidakhadirannya adalah sinyal bahwa PDIP selama dibawah kepemimpinan Mega akan tetap mengambil posisi tandingan penguasa.
Diamnya Mega adalah isyarat kepada elit Partai agar tidak mudah dipecah belah pemenang dengan iming-iming jabatan dan kekuasaan.
Diamnya
Mega adalah bentuk perlawanan tanpa koar-koar yang dapat menumbuhkan perlawan rakyat terhadap pemerintah yang sah.
Diamnya Mega adalah penempatan diri akan keteguhan dan komitmen serta pemenuhan keinginan para pedukungnya yang tidak sedikit.
TETAPI media yang di setir penguasa dan antek-anteknya sudah secara
sepihak menempatkannya sebagai ANTAGONIS politik Negara ini dan ia
menerimanya.
Tetapi yang paling terlihat adalah kenapa kampanye diam-diam dengan
selalu mengekspose penjualan BUMN oleh pemerintahan Mega menjadi isu
yang selalu diingatkan dalam setiap kesempatan, baik oleh pendukung
karbitan SBY maupun politisi PD yang sengak nan angkuh di Senayan sana?
Padahal penjualan BUMN itu untuk mengurangi beban politik pemerintah
karena AS dengan restu IMF mendesak Indonesia agar tidak mengganggu
gugat perjanjian soal Freeport dan Caltex di Riau ( waktu itu ). Karena
jika ada renegosiasi, maka IMF di tekan oleh AS agar tidak mencairkan
bantuan Utang LN ke Indonesia.
Belum lagi persoalan genting saat itu yang mengancam kedaulatan RI,
banyak yang tidak tahu bahwa Indonesia dan Malaysia sudah saling bidik
senjata rudal dua minggu sebelum pengumuman soal Sipadan dan Ligitan
oleh Mahkamah Internasional. Sementara pesawat tempur RI tidak bisa
terbang karena banyak yang rusak dan tak beramunisi akibat embargo AS
dan Eropa.
Kita butuh uang untuk mendekati Rusia dan Korea utara yang butuh pangan dengan imbalan persenjataan dan rahasia nuklir…
Kita butuh jual gas murah untuk mengambil hati China agar bisa menerima ekspor Indonesia sekaligus bantuan amunisi…
Lalu apa salahnya mengorbankan satu kekayaan untuk kesatuan Republik??
Kenapa itu menjadi isu untuk membunuh karakter pemimpin wanita itu?