Jumat, 01 Februari 2013

Banjir adalah Solusi Instant Atasi Kemiskinan

Judul yang aneh. Adakah solusi berupa bencana? Bukankah selama ini keadaan yang buruk merupakan lahan ratapan, keprihatinan dan saranan mencari simpati?

Ya, simpati. Masyarakat Jakarta diberi keberkahan dengan datangnya banjir. Terlepas dari kerugian para  palaku ekonomi, mandeknya program pemerintah sampai korban jiwa, beberapa lapis masyarakat Jakarta sebenarnya mengharap banjira selalu ada datang setiap saat. Bila perlu, banjir seharusnya dijadwalkan.
Mereka tidak meminta banjir, tapi mereka mengharapkannya.

Ketika barang sebentar mereka mengungsi dan meninggalkan rumah seperti liburan berkemah, mereka hidup layaknya seperti orang yang butuh pertolongan.

Ketika mereka berkumpul bersama dengan makan besar bersama dan meninggalkan sejenak rutinitas kehidupan sehari-hari mereka, mereka terbebas dari beban ekonomi yang mengganjal.

Ketika mereka sdang menikmati kebersamaaan dengan para tetangga yang tidak pernah sapa sebelumnya, mereka diharapkan mengingat simpati dan bantuan yang diberikan orang orang yang punya kepentingan menuju kursi empuk di Istana maupun gedung Parlemen nanti.

Ada keikhlasan, tentu saja. Ada kerja keras, itu pasti.

Tapi mengingat dalam bencana banjir Jakarta yang terasa nikmat, lalu kemanakah kita harus mengarahkan pengamatan kita?

Benar,

Sikap egoisme penduduk yang beranak pinak di bantaran kali telah memancing egoisme air bah yang juga tidak ingin diatur. Air ingin mengalir kemanapun ia mau. Maukah rakyat di pinggiran kali itu dipindahkan agar air bebas di jalurnya? TIDAK.

Karena banjir bukan urusan mereka, karena banjir akan mengurangi beban hidup mereka dengan makan gratis selama bencana itu datang. Banjir adalah solusi isntant bagi sebagian mereka. Disinilah letak tantangan itu, karena kenyamanan sebagian warga dalam bencana.

Pengusaha egois juga mengiklankan rumah yang mereka jual sebagai bebas banjir di bibir pantai sana, justru ketika banjir sedang melanda. Ternyata benar-benar bebas banjir. Padahal, mereka menutup pintu air, saluran air dan membiarkan pusat kota atau yang bukan kompleks mereka tenggelam. Itu bukan urusan mereka, karena mereka nyaman dengan kebebasan mereka merusak alam pantai.

Walaupun ada kemungkinan, mereka yang berduit terancam miskin karena kerugian yang diakibatkan banjir. Maka, banjir bisa jadi solusi demi menipiskan batas antara siKaya dan siMiskin…

Jika banjir datang dengan alasan siklus lima tahunan, lalu adakah yang kita pelajari selama ini? Tidak!
Kita tidak belajar bagaimana melepas egoisme kita untuk meninggalkan pinggiran sungai. Kita tidak belajar untuk membuang sampah pada tempatnya. Kita tidak belajar menata perumahan mewah yang lahannya dikuasai taipan real estate. Kita tidak belajar bagaimana membuat Ibukota dan Anakkota (daerah) agar bebas dari bencana ini.

Kita tidak mungkin tertutup badai salju, maka kita nyaman dengan kebanjiran. Karena kita negara dimana air berkumpul dengan melimpah.

 Bisakah kita memaksa saudara kita yang di pinggir sungai itu agar melepas kenyamanan mereka sejenak dan pindah ketempat yang lebih layak, yang justru membuat semua lebih nyaman? Jangan mengharap banjir agar mendapat bantuan terus menerus.

Bisakah kita meminta agar warga kota di pengunungan sana tidak membabat hutan dan membangunnya dengan villa-villa mewah atau perkebunan sawit (daerah)?

Banjir Jakarta adalah solusi. Solusi dimana kita belajar agar tidak terjadi lagi kedepannya. Solusi agar egoisme keduniawian hanyut bersama air yang surut dikemudian hari. Solusi agar kita berdamai dengan alam. Menyayangi sungai sungai.

Solusi untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang selalu belajar. Belajar untuk tidak terkena bencana yang sama di tempat yang sama dengan cara yang sama diwaktu yang berbeda.

Solusi tidak jauh darimana masalah itu berada. Seperti obat penawar tidak jauh letaknya dari bisa racun didapat.

Published in Kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More