Petang lembayung, aku terpaku di pelabuhan kecil. Apakah aku harus
menyambut perahu yang akan menyebrang ke kota tempat ia berada? Atau
kembali ke stasiun kereta dan mengirim pesan bahwa aku berhalangan.
Para pekerja berduyun-duyun memenuhi antrian, menunggu perahu yang
semakin menepi ke bibir sungai. Beberapa penjual makanan mengemasi
dagangannya. Seorang perempuan penjual buah naga pulang lebih dulu. Dua
ekor anjing penjaga pelabuhan menguntitnya dengan mata sayu. Perempuan
itu menghibur kedua anjing dengan berkata bahwa besok ia akan datang
lagi, lalu men-starter motornya dan hilang di keramaian lalu
lintas. Kedua anjing itu masih berdiri memerhatikan sosok yang bahkan
sudah lenyap. Mataku basah, terbawa tatapan sayu kedua anjing. Apakah
mereka mengerti bahwa perpisahan hanya untuk semalam?
Esok perempuan
penjual buah naga itu tentu akan datang lagi.
Aku terkenang sepotong pagi ketika meninggalkan Is.
“I have to go, may I kiss you?”
Lalu kami bertemu dalam ciuman sepanjang novel, larut menjadi apapun yang tak kami sadari.
“I have to go…” lepasku.
“Take care…” bisiknya
“You too…” lepasku
Pagi itu udara begitu sayu, seperti sorot mata kedua anjing itu.
Setelah pagi itu, kukira kami memutuskan untuk sama-sama
melupakannya. Ikatan-ikatan rasa apapun itu hanya akan jadi ancaman. Is
setiap detik berjuang untuk menenun keinginan jiwanya yang orang anggap
tak ditopang wadahnya. Menghadapi kecurigaan bahkan kebencian dari
orang-orang yang menganggapnya lelaki palsu. Aku, perempuan yang sejak
lima tahun lalu menghilangkan kelamin. Aku melepaskannya, karena aku
lelah dengan para pengontrolnya, di rumah-rumah, di jalan-jalan dan di
hukum-hukum negara. Terlalu rumit! Tak ada yang perlu dirawat
diantara kami, begitu pikirku. Kukira begitu juga pikiran Is.
“Last boat Miss…terrr…?” teriak penjaga pelabuhan kecil.
Aku berlari menuju perahu, ya siapa tahu ini perahu terakhirku untuk
merasakan apapun di kota seberang.
Aku melihat kedua ekor anjing itu
masih terpaku ke arah hilangnya perempuan penjual buah naga. Perahu
bergerak, sosok kedua ekor anjing itu semakin hilang dari pandangan,
tetapi tatapan sayunya semakin kurasa.
Sungai begitu tenang, mukanya berbinar-binar diterpa lembayung.
Ikan-ikan berlompatan seperti lumba-lumba di laut lepas. Ini begitu
surga, seperti sitatap yang sering kami lakukan. Tapi itu lima tahun
lalu. Saat itu kami begitu berani saling menikmati tatapan, barangkali
karena kami yakin tidak akan dan tidak perlu berjumpa lagi. Tidak ada
rasa malu, tidak ada intensi, tidak ada rencana apa-apa. Semacam mabuk
berpikir yang lebih mabuk dari pengaruh alkohol atau ganja.
Ketika perahu merapat ke tepi sungai, aku membangun imaji yang perlu
kupersiapkan. Barangkali Is sudah menikah atau hidup bersama dengan
seorang perempuan. Barangkali ia sudah menjadi bapak dari anak
adopsi. Atau dia telah melupakan surga sitatap yang dulu sering kami
tumbuhkan. Ya..ya.. anggap saja ini semacam reuni tak sengaja untuk
secangkir kopi.
***
“Terlalu malam untuk minum kopi, bagaimana kalau aku mengajakmu makan
malam?” Tanyanya. Tentu saja aku tak menolaknya. Keluar dari pelabuhan,
kami menyusuri trotoar yang dipenuhi pedagang makanan.
Aroma ikan yang
dibakar, mie goreng yang disegari bawang daun mentah.
“Kamu pasti kangen dengan aroma makanan jalanan ini, tapi aku ingin
mengajakmu ke suatu tempat,” pintanya. Pada satu sudut jalan, aku
menghentikan langkah.
“Ah tak ada lagi rumah kopi kesukaanku, padahal tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di rumah kopi itu.”
“Jangan khawatir, rumah kopi itu hanya pindah dua blok ke arah utara.”
Lima tahun tak menginjak kota ini, begitu banyak perubahan. Warung
waralaba hampir muncul setiap puluhan meter. Kedai-kedai lokal
menghilang dari tempat semula. Is mengajaku menelusuri jalan yang tak
terlalu besar, melewati rumah-rumah penduduk. Semakin lama semakin jauh
dari jalan raya, menuju ke arah tepi sungai di bagian lain.
Sebuah restoran di tepi sungai dengan iringan musik jazz.
Bulan menggantung di langit cemerlang, aku bersemeja dengannya, dengan
nyala lilin wangi mawar, dan lentera yang dipasang di dahan-dahan
pohon.
Kami bersitatap dan saling menikmati senyuman, tarikan nafas yang lembut, cahaya bulan, dan desiran air sungai. Penyanyi jazz melantunkan lagu “Love Me Tender” ala Norah Jones.
“Kamu menyukai lagu ini?” Tanyanya.
“Ya, aku menikmati lagu, sungai dan tempat ini, terima kasih.”
Hidangan datang, Is menuangkan sup ke mangkukku.
“Kamu harus menghabiskannya, perjalananmu pasti melelahkan..”
Is begitu sempurna, begitu tampan sekaligus ibu.
“Bagaimana hidupmu?” Tanyaku.
Ia bercerita tentang ibunya yang lama kelamaan dapat memahaminya,
ketika ia sesekali tinggal bersama perempuan. Setiap akhir pekan ibunya
berkunjung ke studionya, meminta ia mengantar keliling mall.
“Kamu tahu aku tak suka belanja, tapi seberapa aku berekpresi
laki-laki, ibuku pada hal-hal tertentu tetap menganggapku anak
perempuannya…”
Kami sama-sama tertawa, ya tepatnya mentertawakan diri tentang behave menjadi perempuan. Is juga bertutur tentang kekasih-kekasih jelita yang datang dan pergi.
“Aku bukan transman yang kaya raya, jadi minimal aku tak
berpikir mereka datang lalu pergi karena uang, seperti yang sering orang
duga. Mungkin begitulah cinta, aku tak berekspetasi apa-apa pada setiap
perjumpaan itu.”
Aku suka dengan ketenangannya melampau setiap kisah.
“Bagaimana hidupmu?” Tanyanya.
“Hanya manusia gila yang berpikir untuk hidup bersama perempuan tak
berkelamin. Lima tahun lalu aku masih harus menjelaskan beberapa hal
pada orang yang barangkali berpotensi mencintaiku. Sekarang, aku bisa
mengatakannya dengan mudah. Aku sudah tak berkelamin. Sejak tak
berkelamin, aku menjalani hidup lebih tenang, minimal negosiasi
perkelaminan tak lagi mencerap energi hari-hariku.”
Is menyimakku dengan tatapan berhati-hati. Beberapa pertanyaan
menyusul, aku menjelaskannya dengan suka cita. Melepaskan dari
pembicaraan yang serius, Is menggoda gagasan di cerita yang terakhir
kutulis.
“Aku membaca tulisanmu tentang seksinya bulu janggut habis dicukur.
Apakah kamu pernah membayangkan aku berkumis dan berjanggut?”
Aku tertawa dengan pertanyaannya.
“Kamu begitu tampan tanpa kumis dan janggut…dari mana ketampanan ini,
kalau bukan pantulan pikiranmu. Aku bahkan baru menyadari kamu bukan
laki-laki biologis pada minggu ke dua pertemuan kita.
Kamu ingat itu?
Itupun karena kamu memberitahuku,” aku mengelus bulu-bulu halus di
tangannya. Is tersenyum seperti senyuman seorang bayi.
“Ah tentu aku memilih untuk tidak menggunakan hormon untuk menjadi
apa yang orang kontruksi sebagai laki-laki. Aku hanya menggoda
tulisanmu.” Is tersenyum sedikit mengejek, jemarinya memainkan anak
rambut di pelipisku.
“Aku bisa menulis apapun dan aku senang dengan jenis pembaca
sepertimu, menghubung-hubungkan tulisan dengan hal yang bukan tulisan.
Tidakah itu membuatmu merasakan intensi?” Godaku.
Wajah putih Is memerah. Kini ia menatapku tajam.
“Terlalu banyak laki-laki dalam hidupmu, laki-laki dan laki-laki. Mengapa tidak transman?” Godanya lagi.
Kami tertawa bersama-sama. Aku menyembunyikan sekantung cinta di hati.
Is memintaku bercerita tentang kekasih yang mungkin sedang kunikmati
relasinya. Itu bukan hal yang sulit untuk dijawab. Tapi memikirkan untuk
apa pertanyaan itu muncul, itu menjadi sulit. Kadang aku pun tak selalu
siap dengan asumsi atau kesimpulan dari apa yang kujawab. Tubuhku tak
berkelamin juga perasaan dan pikiranku. Bila tak pandai-pandai aku
mengartikulasikan pikiranku juga tak pandai-pandai lawan bicara
menangkap pikiranku, itu tak sampai pada pemahaman yang sebenarnya.
Seringkali aku diperhadapkan hanya pada dua cara pandang, hetereonormatif dan homonormatif. Bagaimana kalau bukan keduanya yang kumaksud?
Bulan semakin tinggi, wajah Is begitu indah di bawah cahayanya dan
aku terbelit kesulitan pikiranku. Aku meminta ijin untuk pergi ke kamar
kecil.
***
Pukul enam pagi, Is menyibakan tirai jendela kamar yang menghadap ke sungai dan kembali mendekapku.
“Seperti lukisan…” gumamku, sambil menikmati pemandangan muka sungai yang mulai berwarna perak, dicat cahaya pagi.
“Tadi malam kamu orgasme tiga kali,” tebak Is.
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari tarikan nafasmu dan senyum dalam tidurmu.”
“Tadi malam begitu indah, setiap kali dekapanmu mengerat aku tahu kamu sedang terbang,” tebakku.
Kami saling tatap dan tersenyum lembut. Di luar sana burung burung
pencari ikan mulai berterbangan, suaranya riang di atas muka sungai.
“Jam berapa pesawatmu?” Tanya Is sambil mengecup keningku.
“11…” Lalu kami berdekapan erat.
Pagi begitu nyata, pagi begitu dekat, pagi begitu singkat.
***
Di pelabuhan kecil, dua ekor anjing sibuk menemani perempuan penjual
buah naga yang sedang menata dagangannya. Ekor keduanya berkibas-kibas,
sorot matanya cemerlang seperti cahaya pagi. Ah, andai perasaanku
secemerlang mereka.
“Aku ingin mengantarmu sampai stasiun kereta bawah tanah…” pinta Is.
Sebenarnya aku lebih suka tak diantar, bahkan sampai menyebrang ke
pelabuhan kecil ini. Aku seperti ingin berjalan cepat-cepat
menyembunyikan hatiku yang sayu.
Pagi itu, kami berjalan bergandengan dengan langkah tenang menuju
stasiun kereta terdekat. Tak bergeming dengan langkah para pekerja yang
diburu waktu.
“Kapan kamu akan ke sini lagi?”
“Tahun depan…”
“Terdengar sangat lama…”
“Bulan apa?”
“Aku hanya akan memberi tahu bulannya, bila kamu berjanji akan
menungguku. Maksudku menunggu dengan atau tanpa. Kita tak pernah tahu
apa yang akan terjadi 12 bulan dari sekarang.”
“Aku menunggumu dengan atau tanpa…”
“Tunggu aku di bulan November.”
Kami berpisah di pintu pembelian tiket, kulihat kolam kecil di matanya, begitu juga di mataku.
“I have to go…”
“Take care…”
“You too…”
Aku bergegas memasuki kereta, mengemasi kolam yang tumpah di kedua mataku.
Kereta api menelanku, lajunya melesat, menjauhkanku dari jendela kamarnya, dari sungai yang selalu membuatku ingin kembali.
Sekejap kereta itu membawaku ke ujung kota, menuju bandara. Aku melanjutkan penerbangan.
Langit biru, biru sekali. Langit lepas, lepas sekali. Seperti perasanku padanya.
0 komentar:
Posting Komentar