Bibi Bertangan Satu

Anak semata wayangnya benci dia. Dia tampak seolah sangat memalukan. Dia memunguti bulir padi dan buah sawit yang rontok untuk mempertahankan kehidupan mereka.

Pembunuhan Lanza

Amerika menjabat tangan anda dengan hangat tapi menyembunyikan belati dibalik punggung mereka..

Secangkir cokelat

entah, tapi ada sedih yang tersisa ... ada rasa yang tertinggal ... di ujung jari, ujung lidah, dan pelupuk mata ... entah, ada sebersit wajah, dan ubin-ubiin putih

Asal mula Danau Toba ( Legenda )

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kesendirian dalam merenung

Bening dan lembut Meliuk indah seolah bayangan Putri sungai dengan mata air kecilnya Cantik… bak teratai bermahkota mawar

Sabtu, 16 Maret 2013

Malaysia Kehilangan Dalih

Malaysia Kehilangan Dalih


Penguasa Sulu memang dikenal setia pada Filipina namun mereka juga bukan tidak memberi uluran tangan pada saudara mereka yang membawa panji keagamaan dalam upaya memisahkan diri itu. Itulah sebenarnya salah satu alasan kekecewaan yang mengemuka ketika terjadi kesepakatan damai antara Separatis Moro dan Manila tanpa melibatkan kesultanan Sulu.

Kesultanan Sulu selama ini menjaga rahasia besar terkait peran Malaysia ini dan ketika Malaysia berubah dari penyokong menjadi moderator atas MILF dan Filipina, ternyata yang paling berperan (Sulu) tidak dilibatkan.

Malaysia memberi dukungan kemudahan persenjataan untuk membantu perjuangan Muslim Mindanao melalui kedekatannya dengan rakyat Sulu. Dengan mendukung Filipina Selatan, Malaysia berharap kelak jika memang benar merdeka, mereka tidak perlu menyerahkan kembali apa yang menjadi hak warga Sulu, tanah air yang  disewa oleh Inggris dan secara sepihak diserahkan ke Malaysia, Sabah.
 
Dukungan Malaysia ini mengingatkan kita akan Osama Bin laden yang dididik dan dibekali persenjataan oleh Amerika untuk mengusir Rusia kemudian berbalik melawan Amerika sendiri dengan Al-Qaeda yang membesar tak tertahankan ke hampir seluruh wilayah Timur Tengah dan Afrika.

Malaysia masih menganut paham perluasan lahan dan teritorial seperti jaman kerajaan dahulu kala. Mereka sering memindahkan patok perbatasan dan merekrut pemuda lokal  untuk dijadikan laskar dengan dalih pekerja perkebunan. Perbedaanya, jika dulu mereka adalah taklukan sekarang mereka coba menaklukkan dengan sokongan diam diam.

Logika paling mudah dalam kasus MILF adalah ketahanan mereka berperang, darimana persenjataan mereka dan bagaimana mereka memenuhi kebutuhan logistik gerilya. Seperti yang pernah terjadi dalam kasus dukungan pada pemberontakan GAM yang mana Malaysia berdalih menampung pengungsi.

Begitupun yang terjadi dengan Thailand di wilayah Selatan (Narathiwat hingga Yala), jika suatu saat separatis wilayah itu bersedia berdamai dengan Bangkok, bisa jadi atau niscaya akan terjadi ketegangan baru di wilayah Malaysia sendiri (Ipoh dan Kelantan).

Penulis sudah pernah memperingatkan Malaysia soal keberadaan penduduk bersenjata di Malaysia Timur di hutan Serawak dan Sabah jauh sebelum penyusupan tentara Kesultanan Sulu terjadi. Ketidakpuasan suku Dayak yang kebanyakan Non Muslim, rasisme, karena hutan mereka di balak sampai pemaksaan pindah agama untuk mendapat biaya hidup bulanan dari pemerintah. Sayangnya penulis menuai kecaman dan cercaan dari pembaca asal negeri jiran itu.

Pemerintahan Manila tidak tertutup kemungkinan ingin membalas perbuatan Malaysia, meskipun melalui pernyataan Presiden Benigno Aquino III mengecam tindakan Tentara Sulu, namun data intelijen Filipina penuh dengan kemudahan penyelundupan senjata oleh Moro melalui wilayah yang sekarang bergolak.

Manila bisa melakukan hal yang sama dengan memberi kemudahan pemindahan senjata MNLF dan MILF pada gerakan gerilya di Sabah. Pasukan Sultan Sulu bukan datang untuk kalah dan kehormatan semata sebab mereka pastinya bejuang untuk hak yang sesungguhnya.

Jadi, keberadaan Sabah sebagai bagian dari kesultanan Sulu adalah fakta sejarah dan semua bukti mengarah pada keabsahan kesultanan itu sebagai pemiliknya. Tetapi sebagaimana Malaysia berhasil mencuri Sipadan dan Ligitan dari Indonesia, mungkin Malaysia juga akan mudah mempertahankan klaim mereka atas Sabah.
Karena bahkan para Hakim di Mahkamah Internasional lebih dekat dengan Malaysia karena pengaruh Inggris di Eropa.

Disisi lain, Malaysia perlu mengingatkan diri mereka untuk mencari dalih yang lebih masuk akal atas keberadaan Sabah, karena politik perluasan lahan mereka sudah mulai terungkap meskipun Indonesia dan Thailand masih percaya dengan polosnya.

Pelajaran berharga bagi Malaysia ketika perang ini usai, apapun hasilnya, adalah jangan sekali kali mendukung pemberontakan dan atau terorisme di negara tetangga jika itu untuk mencuri lahan mereka. Sebab tetangga yang bergolak tidak menjadikan Malaysia menjadi negara maju.

Malaysia harus mengubah politik regional mereka dengan prinsip, “jika tetangga makmur maka kita juga makmur sebab tidaklah nikmat menjadi negara kaya diantara tetangga yang miskin karena peperangan”.
.
.
=SachsTM=

PDIP Sengaja Kalah di Pilgubsu?

Illustrasi:Analisadaily
Banyak orang yang menyangka bahwa kekalahan PDIP di Sumatera Utara karena kesalahan strategi partai Banteng dalam menetapkan calonnya yang terlambat. Sementara ada juga yang menangggap bahwa PDIP terlalu naif dengan menunjuk Efendi Simbolon yang sebenarnya bukan berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) SUMUT sehingga artikulasi Batak Pendatang begitu kental dikalangan pemilih.

Berbagai anggapan miring terkait kekalahan PDIP sebenarnya mengarah pada kerisauan beberapa kalangan yang berharap banyak pada PDIP sebagai partai yang relatif bersih dan lumayan dipercaya daripada beberapa partai lain yang semakin hari semakin bergumul dengan kotornya tindak pencurian alias korupsi.
PDIP bukan partai bersih tapi relatif lebih bersih dari partai lain. Dan prinsip partai yang selalu terlihat terdepan dalam menghalangi kebijakan pemerrintah yang akan merugikan rakyat (seperti kenaikan TDL atau BBM dan lainnya) sepertinya cukup sampai pada kalangan bawah.

Ada juga asumsi bahwa kentalnya primordialisme menjadi faktor kekalahan PDIP di Pilgubsu 2013, tapi asumsi tetaplah asumsi. Belum pernah terdengar ada bukti bahwa isu agama atau kesukuan (tiang Primordialisme) menjadikan SUMUT seperti daerah lain yang mudah terbakar dalam kerusuhan.

Dalam sejarah SUMUT, hanya ada satu kali perang yang mematikan terkait SARA, yakni Perang Paderi, perang yang anehnya kemudian tercatat malah menjadi perang antara Pagaruyung (SUMBAR) dan Belanda.
Kalaupun kemudian banyak yang mengatakan bahwa kemenangan pasangan Gatot (pujakusuma) dan Tengku Erry sebagai kemenangan Jawa - Aceh, maka terlihat betapa dangkalnya ilmu antropologi yang dimiliki yang bersangkutan, sebab Sumatera Utara terkenal sebagai daerah  “lahan gersang” bagi primordialisme.

Lalu, jika bukan karena faktor primordialisme ( Agama, kesukuan), lalu apakah karena faktor keterkenalan?

Bisa jadi…!

Gatot sebagai petahana seperti pengalaman sebelumnya diberbagai pilkada, punya keuntungan untuk lebih dikenal pemilih dan dengan sedikit sentuhan partai pendukung, maka jadilah barang tuwh.. :)

Partai Golkar sebenarnya lebih pantas menyandang gelar ‘pecundang’ dalam Pilgubsu, mengingat  Golkar selama Orde Baru adalah partai tak tertandingi, begitupun ketika masa reformasi hingga pemilu 2009 lalu. Propaganda “Tak ada Golkar, tak ada pembangunan” begitu meresap di SUMUT. Uniknya kebangkitan Golkar pasca babak belur secara nasional di 1999 terlihat nyata dari Sumut sendiri.

Kemenangan Gatot Pudjo Nugroho yang sebenarnya adalah kemenangan sentimen melankolisme rakyat Sumut kebanyakan. Hali ini terindikasi dari keberadaan Tengku Erry yang merupakan adik dari Gubernur Sumut yang tewas karena kecelakaan pesawat di Medan 5 Sept’ 2005, Tengku Rizal Nurdin.

Tengku Rizal Nurdin termasuk sukses mengembalikan perekonomian Sumut pasca krisis 1998 dan juga cukup berhasil memberantas perjudian terkenal seperti hwahwe, togel dan sejenisnya yang dikendalikan  dari Singapura dan Riau.

tentang TRN hadir melalui adiknya Tengku Erry Nuradi, Cawagubsu terpilih dari Gatot Pudjo.
Jadi kemenangan pasangan Ganteng, bukanlah kemenangan PKS semata, tapi juga kemenangan PDIP. Lho…?

Benar, PDIP disinyalir memiliki perhitungan matang terkait keikutsertaanya dalam Pilgubsu 2013.
Selain niat mempertahankan keberadaan Effendi Simbolon di partai, juga untuk menguji eksistensi PDIP di Sumut sendiri. Hal ini berguna untuk mematangkan strategi pemenangan Pemilu 2014 di Sumut. Dengan melihat pola Pilgubsu 2013, mudah mengukur elektabilitas partai nantinya.

ini juga untuk menguji perkembangan popularitas Jokowi di Provinsi terpadat diluar Jawa itu. Dengan singkatnya kunjungan Jokowi dan menjadikan suara Effendi Simbolon melesat ke urutan kedua, maka PDIP memiliki gambaran jelas bagaimana menggunakan nama Jokowi nantinya disetiap kampanye Pemilu 2014.

Namun, yang paling mudah diduga dari semua hitungan PDIP adalah, keberadaan Gubernur Sumatera Utara (GUBSU) sendiri.

Seperti diketahui, Gubsu adalah jabatan  terpenting diluar Pulau Jawa. Dengan  wilayah strategis, penduduk pluralis terbesar, pertumbuhan ekonomi yang selalu diatas rata-rata nasional menjadikan Gubsu lebih menarik daripada daerah lain. Dibandingkan dengan Gubernur Papua atau Sulawesi atau Aceh yang agak tidak mungkin direbut oleh bukan putra daerah, belum lagi (maaf) kemiskinan dan infrastruktur yang tertinggal.

Nah, kemiskinan yang tidak semiskin daeran lain, Infrastuktur yang lebih maju sehingga seorang Gubsu pekerjaannya lebih ringan daripada daerah lain dan posisi strategisnya menjadikan segala permintaan (proposal) Sumut lebih mudah disetujui oleh pemerintah pusat.

Tetapi, segala kemudahan inilah yang menjadikan Sumatera Utara menjadi ladang korupsi yang subur. Dan sejauh ini Gubsu sejak Radja Inal Siregar sampai Sjamsul Arifin selalu terindikasi dugaan korupsi. Meskipun Sjamsul disebut korupsi ketika dia menjabat Bupati. Sumut dengan gelimang APBD-nya yang besar memang sering menggiring Gubernurnya pada kejatuhan, kejatuhan dalam  dugaan korupsi sehingga gelar Gubsu di Sumut identik dengan UANG.

Resiko inilah yang tidak diinginkan PDIP. Meskipun logikanya adalah, untuk apa ikut bersaing memperebutkan jabatan, kalau menghindari kemenangan?

Kalah tetaplah kalah. Meskipun di lain pihak, jika ini adalah kekalahan PDIP, maka kekalahan ini tidaklah terlalu mengecewakan sebab dana kampanye yang dikeluarkan tidak sebesar pasangan calon lain. Dengan dana yang sedikit dan suara ES begitu melejit ke posisi runner-up, itu juga termasuk prestasi.

Dibandingkan dengan Golkar ataupun Partai Demokrat.
.
.
=SachsTM=

Minggu, 10 Maret 2013

TEBAK!!! Judul lagu berikut adalah?

So this is who I am
And this is all I know
And I must choose to live
For all that I can give
The spark that makes the power grow
And I will stand for my dream if I can
Symbol of my faith in who I am
But you are my only
And I must follow on the road that lies ahead
And I won't let my heart control my head
But you are my only
And we don't say goodbye
And I know what I've got to be
I make my journey through eternity
I keep the memory of you and me inside
Fulfill your destiny
Is there within the child
My storm will never end
My fate is on the wind
The king of hearts, the joker's wild
But we don't say goodbye
I'll make them all remember me
'Coz I have found a dream that must come true
Every ounce of me must see it though
But you are my only
I'm sorry I don't have a role for love to play
Hand over my heart I'll find my way
I will make them give to me
There is a vision and a fire in me
I keep the memory of you and me, inside
And we don't say goodbye
We don't say goodbye
With all my love for you
And what else we may do
We don't say, goodbye

Senin, 04 Maret 2013

PELAJARAN MEMBACA UNTUK MAGGIE

“PELAJARAN MEMBACA UNTUK MAGGIE”



Maggie Gregory mendapat julukan ibu rumah tangga terpuji di sepanjang Clegg Street. Aroma masakannya yang sedap selalu tercium dari ruang  dapurnya pada jam makan malam. Setiap tiga minggu sekali, ia membuat  roti dengan tangannya sediri.

“Aku takkan pernah membeli roti ditoko,” begitu selalu katanya
Maggie juga pandai memasak.Semuanya dibuat sendiri.Ia tak pernah membeli makanan kalengan. Ia juga  tak pernah menggunakan tang pembuka kaleng
Maggie punya tiga orang anak, semuanya bersekolah. Harry suaminya yang baik hati bekerja di pabrik gelas  milik Yarrok. Tetangganya selalu  berkomentar tentang hal baik yang dilakukannya.
“Aneh sekali , bukan,” sahut Nyonya Baines. “Maggie  Gregory bekerja tanpa henti. Dan ia juga pergi kegereja tiap Minggu dengan membawa Al-kitab,dia selalu membawa Al-kitab, padahal dia’kan tidak bisa membaca! Dia tak bisa membaca satu huruf pun!”
Bapa O’Flaherty adalah seorang pendeta dikota kecil itu. Pada suatu siang ia mengunjungi keluarga Gregory.
“Anda seorang istri dan ibu yang baik, serta rajin ,Nonya Gregory,” ujar Bapa O’Flaherty kepada Maggie. “Mengapa Anda  tidak bisa membaca?”
“ Ibuku meninggal waktu aku  berumur delapan tahun,” ungkap Maggie.” Aku satu-satunya anak perempuan dikeluargaku. Aku diharuskan mengerjakan rumah tangga. Aku tak pernah belajar membaca.”
“Tapi Anda harus belajar agar bisa membaca,”saran Bapa O’Flaherty.”Anda datang ke gereja, tapi tak bisa membaca Al-kitab.”
“Apa itu penting ,Bapa?”
“Anda harus bisa membaca,” ujar Bapa O’Flaherty dengan nada marah. “Seorang wanita seperti  Anda harus dapat membaca.”

Kemudian, anak laki-laki  Maggie, Timothy, baru tiba dari sekolah. Usianya baru 12 tahun.
“Ah, Timothy,” Sapa pendeta itu. “aku ingin kau melakukan sesuatu untukku .”
“Apa itu ?” tanya timothy.
“Aki ingin kau mengajarkan ibumu membaca.”
“Akan kucoba ,Bapa.”
“Coba!” Protes Pendeta itu. “Tidak cukup mencoba saja. Semua orang dapat mencoba .  Aku ingin kau mengajar ibumu membaca.Kau mengerti ?”
“Ya , Bapa.”
“Mulailah dengan buku-buku yang mudah dimengertio,”lanjut Pendeta itu. “Dua minggu lagi aku akan kembali,anakku.Jika ibumu masih tetap tidak bisa membaca,. kau akan mendapat kesulitan!”
“Aku akan mengajarkannya ,Bapa.”
“ini uang sepuluh sen untukmu,” ucap Pendeta itu lagi . “ Belilah beberapa  bungkus permen untukmu sendiri.Tapi ingat, aku akan kembali dua minggu lagi.”
Selama dua minggu berikutnya ,Timothy berusaha mengajarkan ibunya membaca.tapi ibunya tak pernah punya waktu  untuk duduk  dan beristirahat. Timothy  terus –terusan membuntutinya  hingga ke penjuru rumah mengajarkannya  kata-kata seperti ‘kucing’ dan ‘anjing’.
“Biarkan ibumu sendiri,” kata ayah Timothy. “Ia tak perlu membaca. Ia seorang ibu rumah tangga yang baik.itu sudah cukup.”
Namun Timothy tetap mengajarkan ibunya setiap hari. Ia tak pernah menyerah. Ia takut akan Bapa O’Flaherty.
Hari terakhir tiba.  Timothy memberikan ibunya pelajaran terakhir  menjelang tengah malam. Maggie mengambil sebuah buku   dan membaca tulisan dihalaman pertama dihadapan Timothy.
“Bagus sekali ,Bu.”  Komentar Timothy.  “sekarang coba baca terbalik!”
Tapi Maggie menaruh kembali bukunya.  Ia berjalan  menuju dapur  dan mengambil sebuah kaleng berisi cokelat bubuk.  Pada kaleng itu tertera sebuah tulisan.  Ia membacanya dihadapan Yimothy.
“Untuk menghasilkan citarasa cokelat yang lezat , gunakan du kali lebih banyak dari takaran gula…” selanjutnya Maggie mengamati kaleng –kaleng yang lain  dan membaca tilisan yang tertera disana.
“Stop! – stop!” Sela Timothy tiba –tiba
Tapi Maggie tak berhenti. Ia mengambil Alkitabnya dan membacakannya pelan-pelan untuk Timothy.
“Apa yang terjadi ?”teriak ayah Timothy.
“Ibu,”Jawab Timothy. “Kemarilah, Ayah. Tolonglah aku. Ibu terus menerus membaca.”
Harry Gregory cepat-cepat menuruni tangga dan menuju dapur. Maggie tidak menatapnya.Ia kelihatan sibuk membaca.
“Kau lihat’kan apa yang telah kau lakukan  kepada ibumu ?” tuduh Harry Kepada anak laki-lakinya. “ Ia dulu ibu rumah tangga    terbaik dijalan ini.    Apa yang akan terjadi nantinya ?”
Bapa O’Flaherty  datang mengunjungi  Maggie keesokan harinya. Ia tampak puas dengan hasil kerja Timothy. Maggie tampak keasyikan  membaca majalah  dan hanya berbicara sepatah dua patah kata kepada Pendeta itu.Setelah itu , banyak hal yang berubah. Makanan keluarga Gregory sering terlambat  dihidangkan, dan rasanya tidak sebaik dulu. Maggie selalu melewatkan  waktu dengan  membaca. Ia baru pergi tidur lewat jam dua belas  malam. Dan ia telah menghamburkan banyak uang untuk membeli majalah. Harry tidak menyukainya.
“Majalah-majalah itu mahal harganya. Kau harus pergi keperpustakaan agar bisa memijam buku-buku dengan gratis,” ujar suaminya menganjurkan.
“ Tapi  buku-buku diperpustakaan tebal-tebal. Buku-buku- yang tebal sangat sulit untuk dipahami,” elak Maggie.
Maggie  membawa pulang buku pinjaman pertamanya dari perpustakaan. Harry menimang-nimangnya. Sangat berat memang.
Maggie menyelesaikan  membaca buku itu  dalam waktu sehari dua malam. Pada malam kedua , Harry merasa kedinginan, lalu turun kebawah. Dilihatnya Maggie masih membaca.
“Sebentar lagi aku akan naik,”katanya. “ Ada satu halaman lagi yang harus kuselesaikan.”
“Kemarin  kau juga bilang begitu,” keluh Harry.Lalu ia  kembali kekamar.
Ada apa, Yah?” tanya Timothy.
Harry menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ibumu tidak henti-hentinya membaca!”
Maggie mengunjungi perpustakaan setiap hari. Tak lama  sesudahnya  ia membaca dua buku dalam sehari.
Sekarang Maggie tak lagi punya waktu  untuk pekerjaan untuk rumah tangganya. Makanan-makanan yang dimasaknya sering gosong. Maggie memutuskan membeli makanan kalengan. Ia  selalu menggunakan tang pembuka kaleng.
“ Kapan lagi kau akan memasak  makanan buatanmu sendiri ?”  tanya Harry jengkel.

*  *  *

Suatu hari dimusim dingin, Bapa O’Flaherty  mengunjungi keluarga  Gregory. Saat itu Maggie sedang membaca.  Ia duduk dekat perapian, Namun tak  dinyalakannya  perapian itu.Ia malah menggunakan mantel berukuran besar.
“Anda lihat apa yang anda lakukan kepada istriku , Bapa ?”Keluh Harry. “dulu   ia seorang ibu rumah tangga yang andal. Lalu anda berbicara dengannya. Sekarang ia menghabiskan  sepanjang waktunya untuk membaca.”
“Kalau  begitu kita harus bicara lagi dengannya,” sahut pendeta itu.

Beberapa hari kemudian, Harry berbicara kepada Maggie.

“Aku pria yang adil, Maggie,”ujarnya.
“Bapa O’Flaherty dan aku ingin membuat perjanjian yang adil denganmu.Kau harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan benar  setiap minggunya.Kau mengerti? Tentu saja,  kau  dapat membaca selama sejam atau dua jam setiap malamnya, tapi makanan harus disajikan tepat pada waktunya.Kecuali hari kamis  kau boleh membaca  sepanjang harinya.”
 Maggie menyetujuinya. Tiap Rabu malam ,  ia menyajikan makanan untuk dihidangkan  hari Kamisnya. Lalu saat hari Kamis tiba, ia menghabiskan sepanjang hari itu untuk membaca. Pagi harinya ia membaca dirumah, namun pada siang  hari  yang terik  ia pergi kelapangan dekat gereja  dan membaca disana.

*  *  *
 Minggu- minggu berikutnya,  semua kembali berjalan  seperti  sedia kala. Lalu, pada suatu sore,  Harry tergesa-gesa menemui Bapa O’Flaherty bersama dengan Timothy.
Ada masalah apa lagi?” tanya Bapa O’Flaherty.
“ Kami harus berbuat apa lagi,Bapa?” tanya Harry. “Maggie  tidak mau lagi membaca buku apapun. Ia bilang  semua buku tidak lagi menarik untuknya. Ia akan menulis buku sendiri ! Seisi rumah kami penuh dengan pensil-pensil dan kertas-kertas!”
“Istri anda akan menulis buku ?” tanya Bapa O’Flaherty terheran-heran.”takkan ada seorangpun yang mau membacanya.”
“Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang  ,Bapa?  Hal ini lebih buruk dari membaca. Maggie tidak pernah mendengarkan apa yang kami katakan.Ia  tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.”
“Tak usah melakukan apa-apapun,” saran pendeta itu akhirnya.”Istri Anda seorang yang istimewa!”
Harry dan Timothy pulang kerumah tanpa saling  berkata-kata.
“Makananya belum disiapkan,Yah.” Kata  Timothy.   “Bantulah aku memasaknya.”
“ Akan memakan waktu bertahun tahun  sampai Ibumu menyelesaikan       tulisannya,”Harry mengeluh sedih.
“ Jika tulisannya sebaik massakannya ,Yah, penantian kita tidak akan sia-sia,” ucap timothy dengan penuh rasa bangga.


Judul asli        :  Maggie’s First Reader.
Karya             :  Bill  Naughton.
Alih Bahasa    :  Dina Mardiana-  majalah Femina

Obat Seks Baru Dari Gas Telur Busuk


Gas yang bertanggung jawab pada bau busuk pada telur yang telah rusak bisa memegang peranan penting pada terciptanya obat seks penting yang baru, para ahli mempercayainya. Sebuah tim dari University of Naples Federico II di Italia menemukan pelepasan dari hidrogen sulfida pada penis memegang peranan dalam menimbulkan suatu ereksi.

Para peneliti mengatakan penelitian ini dapat mengarahkan pada terciptanya obat alternatif bagi Viagra, lapor jurnal Proceedings of the National Academy of Science.

Masalah ereksi menyerang 1 dalam 10 pria.

Telah dianjurkan kalau hidrogen sulfida, yang juga bisa ditemukan dalam asap pembuangan mobil, membantu merilekskan sel yang tegang pada penis untuk menstimulasi aliran darah.
Proses itu hampir sama seperti saat awal penemuan dari peran nitrat oksida di beberapa bagian dari penis, yang mana mengarahkan pada pengembangan Viagra.

Para peneliti menguji teori ini dengan menyuntikkan gas pada jaringan ereksi dari 8 pria yang menjalani operasi. Hal ini juga sebelumnya diujicobakan pada tikus.

Kepala peneliti Profesor Giuseppe Cirino mengatakan sudah hampir pasti kalau gas tersebut bertanggung jawab pada proses ereksi dan hal ini dapat mengarah pada terciptanya obat baru.

Dia menambahkan: "Ini akan membantu membuka seluk beluk dari mekanisme yang kompleks yang mendasari fisiologi dari ereksi dari penis manusia dan akan mengarahkan pada pengembangan terapi untuk penyembuhan disfungsi ereksi.

Dr Graham Jackson, ketua dari Sexual Dysfunction Association, mengatakan pengembangan untuk obat impotensi ini sangat diharapkan.

"Memang sangat dibutuhkan untuk adanya alternatif bagi Viagra. Obat itu hanya efektif pada 60% pria yang menderita diabetes dan 80-85% efektif bagi populasi umum." (bbc/cax) Kapan lagi.com

Jumat, 01 Maret 2013

Bercinta Tanpa Kelamin

Petang  lembayung, aku terpaku di pelabuhan kecil. Apakah aku harus menyambut perahu yang akan menyebrang ke kota tempat ia berada? Atau kembali ke stasiun kereta dan mengirim pesan bahwa aku berhalangan.

Para pekerja berduyun-duyun memenuhi antrian, menunggu perahu yang semakin menepi ke bibir sungai.  Beberapa penjual makanan mengemasi dagangannya. Seorang perempuan penjual buah naga pulang lebih dulu. Dua ekor anjing penjaga pelabuhan menguntitnya dengan mata sayu. Perempuan itu menghibur kedua anjing dengan berkata  bahwa  besok ia akan datang lagi, lalu men-starter motornya dan hilang di keramaian lalu lintas. Kedua anjing itu masih berdiri memerhatikan sosok yang  bahkan sudah lenyap. Mataku basah, terbawa tatapan sayu kedua anjing. Apakah mereka mengerti bahwa perpisahan hanya untuk semalam?
Esok perempuan penjual buah naga itu tentu akan datang lagi.

Aku terkenang sepotong pagi ketika meninggalkan Is.

I have to go, may I kiss you?”

Lalu kami bertemu dalam ciuman sepanjang novel, larut menjadi apapun yang tak kami sadari.

“I have to go…” lepasku.

“Take care…” bisiknya

“You too…” lepasku

Pagi itu udara begitu sayu, seperti sorot mata kedua anjing itu.

Setelah pagi itu, kukira kami memutuskan untuk sama-sama melupakannya. Ikatan-ikatan rasa apapun itu hanya akan jadi ancaman. Is setiap detik berjuang untuk menenun  keinginan jiwanya yang orang anggap tak ditopang wadahnya. Menghadapi kecurigaan  bahkan kebencian dari orang-orang yang menganggapnya lelaki palsu. Aku, perempuan yang sejak lima tahun lalu menghilangkan kelamin. Aku melepaskannya, karena aku lelah dengan para pengontrolnya, di rumah-rumah, di jalan-jalan dan di hukum-hukum negara.    Terlalu rumit! Tak ada yang perlu dirawat diantara kami, begitu pikirku. Kukira begitu juga pikiran Is.

“Last boat Miss…terrr…?” teriak penjaga pelabuhan kecil.

Aku berlari menuju perahu, ya siapa tahu ini perahu terakhirku untuk merasakan apapun di  kota seberang.

Aku melihat kedua ekor anjing itu masih terpaku ke arah hilangnya perempuan penjual buah naga. Perahu bergerak, sosok kedua ekor anjing itu semakin hilang dari pandangan, tetapi tatapan sayunya semakin kurasa.

Sungai begitu tenang, mukanya berbinar-binar diterpa lembayung. Ikan-ikan berlompatan seperti lumba-lumba di laut lepas. Ini begitu surga, seperti sitatap yang sering kami lakukan. Tapi itu lima tahun lalu. Saat itu kami begitu berani saling menikmati tatapan, barangkali karena kami yakin tidak akan dan tidak perlu berjumpa lagi. Tidak ada rasa malu, tidak ada intensi, tidak ada rencana apa-apa. Semacam mabuk berpikir yang lebih mabuk dari pengaruh alkohol atau ganja.

Ketika perahu merapat ke tepi sungai, aku membangun imaji yang perlu kupersiapkan. Barangkali Is sudah menikah atau hidup bersama dengan seorang perempuan. Barangkali ia sudah  menjadi bapak   dari anak adopsi. Atau dia telah melupakan surga sitatap yang dulu sering kami tumbuhkan. Ya..ya.. anggap saja ini semacam reuni tak sengaja untuk secangkir kopi.

***

“Terlalu malam untuk minum kopi, bagaimana kalau aku mengajakmu makan malam?” Tanyanya. Tentu saja aku tak menolaknya. Keluar dari pelabuhan, kami menyusuri trotoar yang dipenuhi pedagang makanan.

 Aroma ikan yang dibakar, mie goreng yang disegari bawang daun mentah.

“Kamu pasti kangen dengan aroma makanan jalanan ini, tapi aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” pintanya. Pada satu sudut jalan, aku menghentikan langkah.

“Ah tak ada lagi rumah kopi kesukaanku, padahal tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di  rumah kopi itu.”

“Jangan khawatir, rumah kopi itu hanya pindah  dua blok ke arah utara.”

Lima tahun tak menginjak kota ini, begitu banyak perubahan. Warung waralaba hampir muncul setiap puluhan meter. Kedai-kedai lokal menghilang dari tempat semula.  Is mengajaku menelusuri jalan yang tak terlalu besar, melewati rumah-rumah penduduk. Semakin lama semakin jauh dari jalan raya, menuju ke arah tepi sungai di bagian lain.

Sebuah restoran di tepi sungai dengan iringan musik jazz. Bulan menggantung di langit cemerlang, aku bersemeja dengannya, dengan nyala lilin wangi mawar, dan lentera yang dipasang di dahan-dahan  pohon.

Kami bersitatap dan saling menikmati senyuman, tarikan nafas yang lembut, cahaya bulan, dan desiran air sungai. Penyanyi jazz melantunkan lagu “Love Me Tender” ala Norah Jones.

“Kamu menyukai lagu ini?” Tanyanya.

“Ya, aku menikmati lagu, sungai dan tempat ini, terima kasih.”

Hidangan datang, Is menuangkan sup ke mangkukku.

“Kamu harus menghabiskannya, perjalananmu pasti melelahkan..”

Is begitu sempurna, begitu tampan sekaligus ibu.

“Bagaimana hidupmu?” Tanyaku.

Ia bercerita tentang ibunya yang  lama kelamaan dapat memahaminya, ketika ia sesekali tinggal bersama perempuan.  Setiap akhir pekan ibunya berkunjung ke studionya, meminta ia mengantar keliling mall.

“Kamu tahu aku tak suka belanja, tapi seberapa aku berekpresi laki-laki, ibuku pada hal-hal tertentu tetap menganggapku anak perempuannya…”

Kami sama-sama tertawa, ya tepatnya mentertawakan diri tentang behave menjadi perempuan. Is juga bertutur tentang kekasih-kekasih jelita yang datang dan pergi.

“Aku bukan transman yang kaya raya, jadi minimal aku tak berpikir mereka datang lalu pergi karena uang, seperti yang sering orang duga. Mungkin begitulah cinta, aku tak berekspetasi apa-apa pada setiap perjumpaan itu.”

Aku suka dengan ketenangannya melampau setiap kisah.

“Bagaimana hidupmu?” Tanyanya.

“Hanya manusia gila yang berpikir untuk hidup bersama perempuan tak berkelamin. Lima  tahun lalu aku masih harus menjelaskan beberapa hal pada orang yang barangkali berpotensi mencintaiku. Sekarang, aku bisa mengatakannya dengan mudah. Aku sudah tak berkelamin. Sejak tak berkelamin, aku menjalani hidup lebih tenang, minimal negosiasi perkelaminan tak lagi mencerap energi hari-hariku.”

Is menyimakku dengan tatapan berhati-hati. Beberapa pertanyaan menyusul, aku menjelaskannya dengan suka cita. Melepaskan dari pembicaraan yang serius, Is menggoda gagasan di cerita yang terakhir kutulis.

“Aku membaca tulisanmu tentang  seksinya bulu janggut habis dicukur. Apakah kamu pernah membayangkan aku berkumis dan berjanggut?”

Aku tertawa dengan pertanyaannya.

“Kamu begitu tampan tanpa kumis dan janggut…dari mana ketampanan ini, kalau bukan pantulan  pikiranmu. Aku bahkan baru menyadari kamu bukan laki-laki biologis pada minggu ke dua pertemuan kita.

Kamu ingat itu? Itupun karena kamu memberitahuku,”  aku mengelus bulu-bulu halus di  tangannya. Is tersenyum seperti senyuman seorang bayi.

“Ah tentu aku memilih untuk tidak menggunakan hormon untuk menjadi apa yang orang kontruksi sebagai laki-laki. Aku hanya menggoda tulisanmu.” Is tersenyum sedikit mengejek, jemarinya memainkan anak rambut di pelipisku.

“Aku bisa menulis apapun dan aku senang dengan jenis pembaca sepertimu, menghubung-hubungkan tulisan dengan hal yang bukan tulisan. Tidakah itu membuatmu merasakan intensi?” Godaku.
Wajah putih Is memerah. Kini ia menatapku tajam.

“Terlalu banyak laki-laki dalam hidupmu, laki-laki dan laki-laki. Mengapa tidak transman?” Godanya lagi.
Kami tertawa bersama-sama. Aku menyembunyikan sekantung cinta di hati.

Is memintaku bercerita tentang kekasih yang mungkin sedang kunikmati relasinya. Itu bukan hal yang sulit untuk dijawab. Tapi memikirkan untuk apa pertanyaan itu muncul, itu menjadi sulit. Kadang aku pun tak selalu siap dengan asumsi atau kesimpulan dari apa yang kujawab. Tubuhku tak berkelamin juga perasaan dan pikiranku. Bila tak pandai-pandai aku mengartikulasikan pikiranku juga tak pandai-pandai lawan bicara menangkap pikiranku, itu tak sampai pada pemahaman yang sebenarnya. Seringkali aku diperhadapkan hanya pada dua cara pandang, hetereonormatif dan homonormatif. Bagaimana kalau bukan keduanya  yang kumaksud?

Bulan semakin tinggi, wajah Is begitu indah di bawah cahayanya dan aku terbelit kesulitan pikiranku. Aku meminta ijin untuk pergi ke kamar kecil.

***

Pukul enam pagi, Is menyibakan tirai jendela kamar yang menghadap ke sungai dan kembali mendekapku.

“Seperti lukisan…” gumamku, sambil menikmati pemandangan muka sungai yang mulai berwarna perak, dicat cahaya pagi.

“Tadi malam kamu orgasme tiga kali,” tebak Is.

“Dari mana kamu tahu?”

“Dari tarikan nafasmu dan senyum dalam tidurmu.”

“Tadi malam begitu indah, setiap kali dekapanmu mengerat aku tahu kamu sedang terbang,” tebakku.

Kami saling tatap dan tersenyum lembut. Di luar sana burung burung pencari ikan mulai berterbangan, suaranya riang di atas muka sungai.

“Jam berapa pesawatmu?” Tanya Is sambil mengecup keningku.

“11…” Lalu kami berdekapan erat.

Pagi begitu nyata, pagi begitu dekat, pagi begitu singkat.

***

Di pelabuhan kecil, dua ekor anjing sibuk menemani perempuan penjual buah naga yang sedang menata dagangannya. Ekor keduanya berkibas-kibas, sorot matanya cemerlang seperti cahaya pagi. Ah, andai perasaanku secemerlang mereka.

“Aku ingin mengantarmu sampai stasiun kereta bawah tanah…” pinta Is.

Sebenarnya aku lebih suka tak diantar, bahkan sampai menyebrang ke pelabuhan kecil ini. Aku seperti ingin berjalan cepat-cepat menyembunyikan  hatiku yang sayu.

Pagi itu, kami berjalan bergandengan dengan langkah tenang menuju stasiun kereta terdekat. Tak bergeming dengan langkah para  pekerja yang diburu waktu.

“Kapan kamu akan ke sini lagi?”

“Tahun depan…”

“Terdengar sangat lama…”

“Bulan apa?”

“Aku hanya akan memberi tahu bulannya, bila kamu berjanji akan menungguku. Maksudku menunggu dengan atau tanpa. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi 12 bulan dari sekarang.”

“Aku menunggumu dengan atau tanpa…”

“Tunggu aku di bulan November.”

Kami berpisah di pintu pembelian tiket, kulihat kolam kecil di matanya, begitu juga di mataku.

“I have to go…”

“Take care…”

“You too…”

Aku bergegas memasuki kereta, mengemasi kolam yang tumpah di kedua mataku.
Kereta api  menelanku, lajunya melesat, menjauhkanku dari jendela kamarnya, dari sungai yang selalu membuatku ingin kembali.

Sekejap kereta itu membawaku ke ujung kota, menuju bandara. Aku melanjutkan penerbangan.

Langit biru, biru sekali. Langit lepas, lepas sekali. Seperti perasanku padanya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More