Minggu, 12 Mei 2013

Sekilas Kesalahan Gus Dur Terkait Polri


Rencana penggantian Kapolri disinyalir beberapa pihak untuk kepentingan SBY dengan segala agenda politiknya menjelang 'lengser keprabon' 2014 mendatang. Meskipun belum ada argumen yang matang atas tuduhan kepada presiden RI itu, jabatan Kapolri Timur Pradopo memang sudah saatnya perlu ditinjau kembali, baik dari segi usia dan masa bakti, maupun rencana pengamanan menjelang pemilu nanti.

Sejak Jenderal Timur Pradopo dipillih menjadi pucuk pimpinan Kepolisian Republik Indonesia, mayoritas masyarakat umum menilai tidak ada progress yang patut dihargai dari segi prestasi beliau.  Urusan sogok menyogok, oknum yang bisa 'dibeli' hingga korupsi secara kelembagaan masih membuat Polri mendapat predikat "jempol kebawah". Penilaian yang menyedihkan mengingat beberapa anggota bekerja keras dan tulus demi keamanan masyarakat sementara beberapa Jenderalnya justru memiliki kekayaan diluar kewajaran.

Lembaga kepolisian memang tidak mudah untuk dibersihkan. Bukan karena mental yang busuk oleh mereka yang berkarir disana, melainkan karena lembaga itu memang di desain untuk berhadapan langsung dengan segala sisi jahat yang ada di bumi pertiwi ini, sehingga siapapun bisa terjerumus tanpa memandang waktu. Lagipula, Polri juga begitu mudah terjebak sebagai bagian dari komoditas politik, baik itu untuk menjatuhkan maupun melanggengkan kekuasaan para politisi busuk.

Sebagai pengingat, mantan presiden Abdurrahman Wahid (alm.) dalam masa pemerintahannya yang singkat memiliki  hingga 4 Kapolri dalam kurun waktu satu tahun yaitu Rusmanhadi ( 29 Juni 1998-3 Januari 2000), Rusdihardjo (4 Januari 2000 – 22 September 2000), Suroyo Bimantoro (23 September 2000 – 21 Juli 2001) dan Chaeruddin Ismail (22 Juli 2001 – 7 Agustus 2001).

Apa yang dilakukan Gus Dur saat itu membuat Senayan tidak habis pikir sehingga muncul opini sebagai penyalahgunaan kekuasaan. Opini yang diperkuat dengan pemecatan Jend. S. Bimantoro pada 1 Juli tepat pada HUT Bhayangkara yang mengejutkan itu. Oleh Mahkamah Agung juga  dinyatakan bahwa Gus Dur telah menyalahi aturan dan menyalahgunakan kekuasaanya.

Kepolisian saat itu telah menjadi arena tarung politik tingkat tinggi yang diimbangi dengan perebutan kekuasaan dikalangan Perwira Tinggi secara internal. Kekisruhan di tubuh Polri yang menjadi bagian dari daftar kesalahan fatal yang oleh politisi Senayan (pimpinan Amien Rais cs.) sebagai 'amunisi' untuk melengserkan Gus Dur beberapa minggu kemudian setelah pencopotan Bimantoro.

Beruntunglah, kisruh di tubuh Polri seketika berhasil diredam dan dipulihkan oleh Megawati Soekranoputri setelah menggantikan Gus Dur. Mega menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa segala sesuatu harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, dan sepanjang Presiden mengeluarkan keputusan yang benar dan tepat untuk proses pemberhentian dan pengangkatan seorang Kapolri, maka Polri tidak punya pilihan selain tunduk.

Terlepas dari langkah Gus Dur yang  tidak sesuai aturan ketika memecat Kapolri dan beberapa petingginya, harus dicermati lebih dalam bahwa hal itu adalah cara beliau untuk mempercepat regenerasi di tubuh Polri sendiri. Regenerasi yang dimaksud sebagai upaya halus menyingkirkan para Jenderal yang sudah terkontaminasi dengan perilaku korup dan terlalu nyaman dengan kebusukan yang akut di Kepolisian.

Citra buruk yang tidak kunjung menjauh dari Polri sepertinya memaksa Gus Dur membuat keputusan radikal, dengan melupakan segala aturan terkait tata cara pergantian seorang Kapolri. Cara Gus Dur yang terkesan semrawut, seolah menggambarkan kesemrawutan di tubuh Kepolisian itu sendiri. Mereka tidak siap direformasi menuju citra yang bersih, profesional dan benar benar mengayomi masyarakat.

Kembali ke Jenderal (Pol.) Timur Pradopo dan kepentingan SBY.

Selama ini, pergantian Kapolri tidak menjadi bahan politik dan berlangsung dengan riak kecil yang tidak menimbulkan panas dingin secara nasional. Meskipun demikian, pergantian Kapolri kali ini perlu pengamatan yang lebih serius dan kehati-hatian, mengingat banyaknya orang kuat di Mabes Polri yang sedang mencari jalan keluar untuk menutupi harta kekayaan mereka.

Sementara SBY juga perlu Polri untuk memoles citranya untuk setidaknya tidak lebih buruk lagi  dengan memilih seorang Kapolri yang "tampak kredibel", dipercaya dan dengan waktu yang singkat mampu mengubah wajah Kepolisian "sedikit  cerah".

Kalau bisa, seorang Kapolri mendatang jangan hanya untuk menyenangkan SBY semata, tetapi orang yang berani membabat para PATI di Mabes yang "korup dan buncit".  Siapakah orang itu?
;
;
=SachsTM=

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More