Jumat, 10 Mei 2013

Eat, Pray, Love Versi Jakarta

Spiritualisme mungkin bukan hal yang menarik untuk dibicarakan karena seringkali kita terjebak pada kesan menggurui atau digurui. Hampir setiap individu cenderung terusik egonya ketika mendapat kesan seseorang sedang mengguruinya. Bagaimana kalau kita bicara kebahagiaan?

Baiklah, kebahagiaan adalah tema yang menarik karena tidak ada batasan menggurui dan digurui, sebab seseorang yang menceritakan kisah bahagianya, tanpa berlebihan tentunya, lebih menyenangkan karena membuat pendengar ikut berbahagia atau setidaknya tertarik untuk merasakan hal yang sama.

Kebahagiaan dan Stress

Tidak perlu ke Italia, India atau Bali ala Julia Roberts, cukup disini, dimana kita tinggal. Bicara kebahagiaan tentu beriringan dengan ketidakbahagiaan, stress misalnya. Stress ada pada daftar utama perenggut kebahagiaan selain kemiskinan, kesedihan dan penyakit.

Stress bisa berasal dari rutinitas yang menjemukan, lingkungan sekitar, tekanan pekerjaan bahkan cinta yang tidak seindah yang dibayangkan. Contoh keadaan lingkungan yang menyebabkan stress misalnya kemacetan lalu lintas.

Disetiap kota besar di negeri ini, terutama DKI Jakarta, kemacetan lalu lintas ibarat penyakit "kronis yang akut". Banyak kehidupan yang jadi tidak bahagia, emosional berakibat perselisihan, pertengkaran hingga aksi tawuran berasal dari stress tingkat tinggi. Macet ditambah lingkungan sempit yang berdesakan dan tuntutan biaya hidup ibarat lingkaran setan yang saling mendukung untuk merenggut kebahagiaan seseorang.

Berdamai dengan kemacetan ibarat menghilangkan sepertiga beban hidup untuk meraih kebahagiaan dan produktifitas. Jika kita tidak bisa menghindari kemacetan, akan lebih baik jika kita menikmatinya tanpa sibuk dengan pikiran yang terburu-buru, ingin cepat sampai, ditunggu klien, takut terlambat atau lainnya.

Menikmati kemacetan di jalan raya dengan membuang kekhawatiran adalah hal yang paling sulit. Tetapi seringkali kekhawatiran kita tidak mengubah keadaan dan kenyataan menjadi lebih baik. Anda tetap akan ditegur atasan jika terlambat karena  macet, anda tetap (mungkin) kehilangan klien potensial ketika sudah terjebak macet, bahkan anda mungkin kehilangan kesempatan merayakan ulang tahun si kecil ketika kendaraan di jalan bergerak seperti siput.

Tetapi, apakah kekhawatiran dan ketakutan anda yang menumpuk sampai menyesakkan jantung itu berguna mengatasi kemacetan? atau apakah persoalan anda akan selesai dan berhasil hanya karena tidak ingin keluar rumah karena pasti terjebak macet? Bukankah kita bisa mempersiapkan segalanya termasuk memperhitungkan jarak dan waktu tempuh dengan segala kemungkinan macet di jalan jika itu urusan kerja dan klien?

Menerima kemacetan lalu lintas sebagai bagian dari hidup oleh mereka yang berada di Ibukota ternyata mampu mengurangi tingkat stress lebih efektif dari mereka yang tetap mengeluh dan mengeluh. "Habis, mau gimana lagi?" begitu kira kira ungkapan yang pantas.

Eat, Pray, Love

Sementara menerima kenyataan bahwa jalanan yang tidak teratur, motor yang ugal ugalan, saling serobot, lampu lalu lintas yang mati, semrawut hingga klakson yang saling bersahutan alias macet sebagai bagian dari parade kehidupan, bagaimana kalau kita berbahagian dengan cara berikut:

1. Adventure and Eat.
Menembus kemacetan dengan segala kondisinya ibarat petualangan pendaki gunung. Saat itu kita bisa beristirahat ditempat yang punya parkir tentunya, menikmati hidangan kesukaan atau sekedar membuat badan lebih santai. Jika jalur yang anda lewati adalah jalan yang setiap hari anda lewati, menepilah di tempat yang berbeda setiap hari. Anda akan menemukan pengalaman yang berbeda sambil menikmati hidup melalui makanan. Ini lebih baik daripada kita (misalnya pengguna motor) menggunakan trotoar yang mengganggu dan merugikan pejalan kaki.

Mencoba jalan lain yang berbeda atau bahkan jalan tikus boleh juga, selain bisa melihat sisi lain perkotaan, bisa juga untuk lebih mengenal setiap sudut Ibukota. Tapi penulis pernah punya pengalaman mencoba ide ini, dengan menggunakan jalan kecil di daerah Cililitan untuk menghindari kemacetan di sepanjang Kramat Jati menuju Pasar Rebo, hasilnya? Setelah cukup jauh dan serasa sudah dekat ke Jalan Raya Bogor, ternyata saya malah kembali ke Cililitan lagi, ke tempat yang sama saat saya memasuki jalan alternatif itu. Cape deh... :P

2. Adventure and Pray
Kemacetan bisa membentuk kepribadian kita menjadi buruk. Bisa memancing sisi negatif lebih dominan dalam diri , tidak sabaran, emosional, egoisme dan lainnya. Tetapi, bahkan keadaan yang tidak menyenangkan adalah saat terbaik untuk menunjukkan kualitas kita sebagai manusia. Kita bisa menjadikan kemacetan menjadi arena latihan untuk lebih bersabar,  memaafkan sesama pengguna jalan yang belum tercerahkan, menahan diri untuk tidak mengutuk pemerintah, bahkan bersyukur, sebab anda masih diberi kelayakan menikmati jalan raya yang macet sementara banyak saudara kita disepanjang perjalanan yang justru harus menikmati" kesempatan yang macet". (Maaf) Rejeki yang tidak selancar anda.


3. Adventure and Love
Jika karena macet mengharuskan kita menepi, bukankah itu berarti kesempatan untuk bertemu orang baru, memperbanyak relasi atau bisa juga sekedar "cuci mata" untuk memanjakan selera nakal anda. Atau, bisa juga berbagi dengan mereka yang kurang beruntung, mendengar keluh kesah mereka terkadang memberi motivasi yang lebih dan menyadarkan kita untuk tidak hanya memandang ke atas.

Kita tentu tetap berharap penataan, pengadaan jalan dan angkutan yang lebih baik kedepannya. Disisi yang lebih menarik, ketika kita mampu menerima keadaan, kemacetan sebagai sebuah petualangan/adventure, kita sudah meninggalkan stress jauh di belakang, stress yang menjauh menghadirkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang hadir dari kondisi yang tidak nyaman adalah bagian dari spiritualisme. Dan Spiritualisme tidak harus ditempa ditempat hening yang bisu, bisingnya jalanan Ibukota dengan kemacetannya juga baik untuk itu.

Semoga tidak menggurui...  :)
;
;
=SachsTM=

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More