Jumat, 09 November 2012

Asal Bukan Mega

Harus diakui kelihaian SBY mempengaruhi media adalah salahsatu kunci utama kesukesesannya dalam memperpanjang masa tinggalnya di Istana Merdeka, selain alat provokasi opini semacam lembaga survey yang tidak objektif tentu saja.

Awalnya SBY ditempatkan media sebagai orang yang teraniaya ketika memulai perburuannya menjadi RI-1, kemudian masih menjadi tren selama menjabat hingga perebutan kekuasaan untuk periode keduanya mempertahankan kursi emasnya di Merdeka Utara.

Tetapi, seandainya kita jeli dan Objektif memandang masalah dan keadaan, terutama peranan media dalam melambungkan SBY, kita akan menyadari siapa sesungguhnya yang teraniaya.

Saya melihat Megawati Soekaroputri adalah korban kekejaman media yang tidak netral dan seimbang dalam segala pemberitaannya. Memang Mbak Mega bukan orang yang memiliki jaringan selayaknya beberapa orang yang mengelilingi SBY.

Tetapi para pemimpin redaksi media-media yang berpengaruh di negeri ini seolah berjamaah dalam memojokkan Mega yang dianggap hanya Ibu rumah tangga yang beruntung.

Kekejaman media yang saya maksud sebenarnya merujuk pada kebiasaan mereka yang selalu mengaitkan dan membandingkan kegagalan Mega serta menyembunyikan keberhasilannya dengan kesuksesan SBY.

Hal yang paling sering kita lihat dan dengar terkait keberpihakan media adalah dimana mereka selalu menempatkan dan mengkondisikan Mega sebagai seorang tokoh yang Keras Kepala, Bodoh, Pendendam, Tidak Legowo, Feodalis, Pemikirannya sempit,Tidak Negarawan, Emosional, dst…

TETAPI… pernahkah anda sadari bahwa selama ini Mega tidak pernah menjawab dan membela diri atas segala tuduhan dan penokohan yang dialamatkan media - media itu kepadanya?

Mega tidak reaktif seperti SBY yang selalu kebakaran jenggot dan membesarkan masalah kecil jika ada kritik dari rival-rival politiknya terutama dari kalangan PDIP.

Mega selalu diam dan sepertinya tidak pernah menjelaskan segala sesuatu terkait pemberitaan miring tentang dirinya karena ia tidak merasa seperti yang di kondisikan negatif oleh para media yang didukung para pengamat.

Mega tidak memberikan alasan ketidakhadirannya di acara pelantikan Presiden waktu lalu, Mega tidak memberi ucapan selamat, Mega tidak memberi keterangan pers tentang sikap PDIP terkait kabinet baru. Dan absennya Mega di acara pelantikan itu dijadikan media, pengamat pro pemerintah dan lawan-lawan politik Mega sebagai pembenaran akan ‘kekerdilan perangai’ wanita berpengaruh itu.

PADAHAL… diamnya Mega dan ketidakhadirannya adalah sinyal bahwa PDIP selama dibawah kepemimpinan Mega akan tetap mengambil posisi tandingan penguasa.

Diamnya Mega adalah isyarat kepada elit Partai agar tidak mudah dipecah belah pemenang dengan iming-iming jabatan dan kekuasaan.

Diamnya Mega adalah bentuk perlawanan tanpa koar-koar yang dapat menumbuhkan perlawan rakyat terhadap pemerintah yang sah.

Diamnya Mega adalah penempatan diri akan keteguhan dan komitmen serta pemenuhan keinginan para pedukungnya yang tidak sedikit.

TETAPI media yang di setir penguasa dan antek-anteknya sudah secara sepihak menempatkannya sebagai ANTAGONIS politik Negara ini dan ia menerimanya.

Tetapi yang paling terlihat adalah kenapa kampanye diam-diam  dengan selalu mengekspose penjualan BUMN oleh pemerintahan Mega menjadi isu yang selalu diingatkan dalam setiap kesempatan, baik oleh pendukung karbitan SBY maupun politisi PD yang sengak nan  angkuh di Senayan sana?

Padahal penjualan BUMN itu untuk mengurangi beban politik pemerintah karena AS dengan restu IMF mendesak Indonesia agar tidak mengganggu gugat  perjanjian soal Freeport dan Caltex di Riau ( waktu itu ). Karena jika ada renegosiasi, maka IMF di tekan oleh AS agar tidak mencairkan bantuan Utang LN ke Indonesia.

Belum lagi persoalan genting saat itu yang mengancam kedaulatan RI, banyak yang tidak tahu bahwa Indonesia dan Malaysia sudah saling bidik senjata rudal dua minggu sebelum pengumuman soal Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah Internasional. Sementara  pesawat tempur RI tidak bisa terbang karena banyak yang rusak dan tak beramunisi akibat embargo AS dan Eropa.

Kita butuh uang untuk mendekati Rusia dan Korea utara yang butuh pangan dengan imbalan persenjataan dan rahasia nuklir…

Kita butuh jual gas murah untuk mengambil hati China agar bisa menerima ekspor Indonesia sekaligus bantuan amunisi…

Lalu apa salahnya mengorbankan satu kekayaan untuk kesatuan Republik?? Kenapa itu menjadi isu untuk membunuh karakter pemimpin wanita itu?


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More