Jumat, 18 Oktober 2013

Jokowi Diantara Nafsu Kekuasaan

Setiap logika rakyat yang masih peduli pada negara ini sedang diuji tentang kemungkinan Jokowi menuju RI-1. Logika yang kadang terkorupsi oleh niatan sesaat ataupun ego rendahan dari kedua pihak, baik yang mendukung maupun yang mencoba menolak.

Setiap pemimpin ada masanya dan setiap idola ada "hits"-nya, termasuk keberadaan Jokowi kini dan nanti. Sebelum basi harus jadi atau nanti sesudah jadi sebenarnya sama saja.
Intinya penolakan terhadap Jokowi hanya karena harapan untuk Jakarta yang lebih baik meskipun ada juga karena ada tokoh lain yang keburu basi sebelum berkembang, Prabowo Subianto, misalnya?!

Tetapi perbedaan yang tajam diantara dua kutub sebenarnya sangat masuk akal dan sangat berdasar meskipun tidak untuk dipertentangkan sedemikian tajamnya (untuk saat ini). Bagi yang ingin segera mengganti sosok SBY - dengan pemerintahannya yang sulit untuk dikatakan berhasil ini - tentu  yang mereka cari bukan orang yang sering tampil di iklan televisi saja tanpa berpikir kalau saja uang untuk iklan itu diberikan untuk rakyat yang terancam kelaparan.

Sementara bagi mereka yang menolak mempunyai alasan bahwa Jakarta sangat ingin sentuhan Jokowi hingga selesainya beberapa rencana strategis dan mendesak seperti kemacetan dan banjir. Mereka berpikir kalau tanpa Jokowi, semua yang dia lakukan terhadap proyek proyek Monorail, MRT dan lainnya akan kembali mangkrak.
Setahun kepemimpinan Jokowi saja belum menunjukkan perubahan berarti bagi Jakarta yang sudah akut dari segala penjuru permasalahan sebuah kota. Mulai dari pedagang kaki lima, pemilik lahan yang membangun sesukanya, birokrasi pemerintahan yang bobrok sampai masalah banjir dan macet. Beberapa mungkin terlihat sudah ada kemajuan seperti janji Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, termasuk penataan kembali Sungai dan Waduk termasuk PKL.

Namun justru apa yang sudah dicapai Jokowi dan Ahok dalam setahun mereka di Jakarta inilah menjadikan masyarakat semakin bertambah kekhawatirannya. Mereka tidak ingin seperti kasus Monorail era Bang Yos yang "dimangkrakkan" oleh Foke kembali terulang pada KJS, KJP dan lainnya.
Apa jadinya jika KJS tidak berlanjut? PKL di blok G kembali ke jalan? warga waduk Pluit/Ria rio kembali turun dari Rumah-rumah Susun (Rusun) untuk memenuhi pinggirannya? pengeboran jalur MRT 'mentok' dibawah tanah sana?

Mungkin kekhawatiran ini terlalu berlebihan, tapi seperti yang yang kita perkirakan bahwa hal ini masuk akal.
Kita akan kembali kesulitan mencari figur yang mampu diterima sekaligus dianggap mampu menggerakkan cita cita Jakarta yang modern dan berkelas. Wakil Gubernur Basuki atau Ahok mungkin sama berkelasnya dengan Jokowi, namun ada sedikit perbedaan dari keduanya yaitu perihal manajemen konflik.

Selain yang bersifat kinerja atau prestasi Jokowi di Jakarta, pendapat yang ingin dikedepankan oleh mereka yang menolak Jokowi sebagai calon RI-1 adalah belum tuntasnya masa jabatan Jokowi di DKI sebagaimana beliau disumpah saat pelantikannya dulu. Dan tentu banyak lagi argumen lain yang bersifat politis dan kepentingan para calon pesaing dengan nafsu kekuasaan masing masing seperti yang disebutkan sebelumnya.

Disisi lain, para pendukung Jokowi sekali lagi tidak ingin negara ini dipimpin oleh mereka yang tidak mengenal keadaan negaranya sendiri. Tidak ingin dipresideni oleh orang yang hanya bekerja berdasarkan citra dan laporan asal bos senang dari bawahannya sementara kenyataan sangat kontras dilapangan. Rakyat ingin didengarkan, diperhatikan dan rakyat ingin memilih orang dari kalangan mereka sendiri, bukan pemimpin impian yang hanya ada dalam mimpi hingga tidak bisa diraih karena mereka ada di awang awang.

Rakyat sudah muak dengan calon presiden yang mencari popularitas dari iklan yang tulis seorang sutradara pembuat film mimpi. Rakyat tidak ingin dipimpin oleh pengusaha sukses yang sebelumnya meminggirkan orang kecil demi lapak usaha mereka yang entah dari mana tiba tiba jadi salah seorang terkaya di negeri ini.

Bahkan mereka juga tidak ingin negara ini dipimpin oleh mantan Jenderal yang kabur ke luar negeri supaya tidak diadili atas nama Hak Azasi Manusia.
Tetapi yang paling penting dari semua argumentasi logis mereka yang mendukung Jokowi sebagai Capres 2014 adalah bahwa negara ini keburu hancur jika menunggu 2019. Bisa juga Jokowinya keburu basi?

Mungkin saja, tetapi untuk saat ini tidak ada yang lebih dipercaya melebihi Jokowi sendiri.

Apa jadinya jika Jokowi baru mencalonkan diri 2019 misalnya, sementara  pengganti SBY lebih parah dari raja Cikeas itu? Bisa bisa kejadiannya seburuk negara ini ketika Gusdur harus menyerahkan kekuasaan pada Mega.

Lagipula, dengan Jokowi (seandainya) menjadi RI - 1, masalah Jakarta tidak akan dilepas begitu saja, malah  perhatian untuk pembenahan Ibukota negara itu akan semakin lebih. Karena selain diurus seorang Gubernur, juga akan disokong oleh kebijakan pusat. Kebijakan Gubernur dan dukungan penuh Presiden akan semakin mempercepat Jakarta menuju Ibukota yang modern dan berkelas dunia.

Tetapi diluar semua itu, pertanyaan paling dicari jawabannya saat ini hingga nanti adalah, kapan Megawati memberi pengumuman kepada rakyat yang dicintainya (meskipun banyak yang mengolok-oloknya)?
;
;

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More