Jumat, 04 Januari 2013

Rotan untuk Betis Ibu



Ketika itu aku masih bayi, sekitar 3,5 tahun. Tapi usia terkadang tidak sanggup menghalangi ingatan seseorang terhadap sebuah peristiwa. Apalagi itu sesuatu yang mengerikan.

Aku ingat dengan jelas peristiwa itu, sejelas melihat layar dihadapanku ini. Sesuatu yang belum pernah kuceritakan pada siapapun dan kupendam hanya untuk mencoba melupakan. Sia-sia!

Petang/menjelang maghrib itu aku sedang berada dipunggung ibu dengan sehelai kain gendongan usang. Ibu menyisir rambutnya yang super keriting cenderung gimbal itu menghadap cermin kecil yang menggantung di dinding papan rumah kami. Ibu tentu lelah dengan pekerjaannya sebelumnya yang seharian  menjadi kuli cangkul di sawah ladang orang.

Beberapa orang di luar kampung kami pasti tidak percaya bahwa ibu bisa mencangkul selayaknya pria, ikut mobil truk untuk kerja di perkebunan terdekat, menanami sawah sendirian bahkan menuai padi dan mengangkut karung seorang diri.

Semua itu demi nafkah dan keluarga. Sementara aku hanya seorang bayi yang  masih harus menyusui. Yang tidak tahu kapan ibu berangkat ( mungkin saat aku masih tertidur di pagi buta ), dan kapan ibu pulang.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dan belum mengerti apapun ketika itu. Tapi… aku hanya tahu dan akan selalu membekas dalam ingatanku kelak, ibu tiba -tiba dipukul di kedua  kakinya, tepat di betisnya dengan gagang sapu berbahan rotan. Pukulan yang kuat dari ayunan tangan seorang pria dewasa.

Aku terkejut dan ketakutan. Ketakutan yang menimbulkan kebencian terpendam hingga kini.
Aku ingat dengan jelas, rintihan ibu, tangis ibu dan kesakitan yang amat sangat yang tergambar nyata diwajah ibu…

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran bapak, hingga tega menganiaya ibu sedemikian rupa. Disaat aku berada dalam gendongan ibu, disaat aku tidak seharusnya melihat hal demikian.

Ibu sampai terduduk dan  kaca cermin di dinding pecah demi sakit yang dialami beliau.
Rintihannya yang tertahan sekuat tenaga agar tetangga tidak mendengar.

Tangisnya yang hanya tetesan air mata tanpa suara, agar tetangga tidak terganggu.
Beliau meng_aduhhh hanya rintihan tertahan ditenggorokan, atau karena sakitnya tak terperikan hingga beliau tidak sanggup bersuara?, aku belum paham.

Aku tidak bisa melupakan wajah kesakitan ibu yang tepat didepan mataku, aku tidak bisa melupakan  dendam ini. Aku masih selalu mengeluarkan air mata  hingga kini jika ingat saat itu, penderitaan ibu itu, kekejaman bapak itu.

Aku tidak bisa terima perlakuan seperti itu!!!

Seorang bayi sekalipun akan terluka hatinya dan membekas selamanya, jika kekejaman nyata dihadapannya, terutama jika itu terhadap ibunya, wanita yang menyayangi anak-anaknya. Aku berharap  tahu dan bisa menjamin kalau ibu tidak salah saat itu sebab aku tahu ibu tidak pernah mementingkan diri sendiri selain keluarga dan orang sekitarnya.

Ibu seorang yang rela berkorban demi sesamanya.
Aku benci sapu rotan dan saat menjelang hari gelap seperti waktu itu!

=======   ====  =======

Setelah aku cukup dewasa, ketika kami berada di negeri ibu, aku berusaha bertanya “Kenapa bapak berbuat dan  memperlakukan ibu demikian? Apakah ibu sering mendapat perlakuan demikian sebelumnya?”
Ibu tidak pernah memeberi alasan dengan jelas, tidak pula memberitahu apa yang terjadi sebelum aku lahir, ketika hanya kakak-kakakku yang masih menjadi buah hati mereka.

“Bapakmu tidak berbuat apa-apa, mungkin kau hanya mimpi buruk” demikian selalu kata ibu.

Tapi jika aku pulang ke negeri bapak, biasanya para tetangga di kampung sering tanpa sengaja menceritakan riwayat dan kisah tentang keluarga kami. Keluarga yang lumayan harmonis, tapi hampir selalu terjadi kekerasan didalamnya.

Bukan cerita enak saja, tapi terkadang itu sangat memilukan.

Jika kutanya lagi pada ibu tentang kebenaran cerita para tetangga, ibu akan mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan:
“Itu cara mereka supaya kau tidak memperlakukan wanita  dengan buruk”

———————–

Aku ingat, aku tahu, aku tidak akan lupa… kendati saat itu aku hanya seorang balita berumur tiga setengah tahun.
Semua itu telah menjadi bagian dari ingatanku, dendamku dan mempengaruhi perkembangan jiwaku.
Aku tidak benci bapak, aku hanya tidak suka caranya.

Aku sayang ibu, dan lakukan apapun semampuku untuk kebahagiaan beliau.
Jika ibu bilang aku tidak usah merantau dan jadi pelaut (sesuai cita-citaku), akan kulakukan…
Jika ibu ingin aku jadi insinyur pertanian (hal yang paling tidak kusukai), akan kuusahakan…
Walaupun demikian, aku tahu ibu juga ingin aku menjadi seperti yang kuinginkan… yang paling penting ibu menyayangi kami semua anak anaknya dan  aku berterima kasih untuk itu.

I know, I love you too mom!!!

From: Kompasiana

 =SinyalirR=

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More