Kamis, 07 Februari 2013

ISL, Sampah Ingin Dipandang Emas

Lelah adalah kata yang pantas untuk menerangkan kegemasan, kedongkolan sekaligus ketidak-berdayaan para calon penikmat Sepakbola nasional ditengah konflik yang seakan  tidak pernah mengarah pada penyelesaian yang bermartabat.

Dibutuhkan jiwa besar dan berkaca pada diri sendiri atas nama besar Bangsa dan Nasionalisme. Dibutuhkan jiwa besar dan sportifitas untuk menerima kenyataan bahwa keburukan akan tetap menjadi keburukan. Keburukan hanya akan menjadi kebaikan ketika hari berganti dan kelakuan buruk tidak terulang kembali.

Memperbaiki diri penting bagi semua, tak terkecuali organisasi ataupun pro status quo.

ISL dapat dikatakan “pernah” sebagai kebanggaan bagi mereka yang ingin melihat Indonesia dalam Sepakbola. Dengan jumlah penonton yang ramai, persaingan yang ketat dan gegap gempita yang meriah ketika ISL menjadi ajang penampilan pemain yang berkualitas.

Sampai kemudian ISL menjadi jumawa ketika merasa memiliki pemain terbaik hanya karena mampu menjadi runner-up di AFF Suzuki Cup. Pemain terbaik yang terbukti tidak mampu lepas dari ketakutan, tersandera dan terjajah oleh brand ISL sendiri.

ISL menjadi sampah yang ingin menjadi emas ketika mereka yang berkepentingan dan mengurusi liga itu menjadikan pemain terbaik menurut ukuran mereka sebagai senjata untuk mengancam dan melemahkan keabsahan PSSI.

KPSI memiliki kepercayaan diri yang tinggi hanya karena mereka memiliki pemain ISL. Bisa dibayangkan apa yang dimiliki KPSI tanpa pemain yang katanya terbaik yang bermain di ISL? TIDAK ADA!!!

Karena KPSI tidak memiliki pengakuan, baik dari FIFA maupun CAS. Mungkin mereka hanya memiliki berbagai macam tuduhan pada PSSI, tapi merreka tidak bisa membuktikan bahwa mereka adalah penyelamat.

ISL adalah sampah yang bermimpi menjadi emas dengan tidak mau mengirimkan pemain untuk berjuang atas nama NEGARA. Benar, apapun anda, malaikat, orng suci, atau ilmuwan berkelas Nobel, tidak ada apa apanya alias sampah ketika anda tidak mau membela Negara.

Jenderal Sudirman, menjadi besar dan dikagumi dunia militer Internasional, karena semangatnya dalam sakitnya. Strategi militer Sudirman dipelajari baik-baik oleh dunia Barat, terutama semangatnya dalam sakitnya atas nama Indonesia yang masih “BAYI”.


Lalu pantaskan ISL menyebut para pemainya sebagai pemain terbaik jika karena uang atau hasrat kuasa ala LNM dkk, tidak mau mengutus pemainnya ke TIMNAS?  Mereka (yang mengaku pemain terbaik itu) tidak lebih hebat dari Jenderal Besar Sudirman bahkan ketika beliau sedang sekarat sekalipun…

Jika ISL bukan sampah, lalu beranikah mereka merelakan Timnas dan PSSI bekerja dengan baik megurusi kebobrokan ISL dan PSSI sebelumnya?

Banyak pertanyaan yang muncul, tapi jawabannya hanya satu ISL adalah sampah di alam demokrasi, dalam keterpurukan olahraga nasional dan buruknya moral serta sportifitas pengurus ISL sendiri.

Jika ISL adalah liga terbaik, lalu mampukah mereka mengungkap alasan kenapa PSMS Medan dipaksa mengalah kepada Sriwijaya ketika final ISL ?  Mampukah ISL dan pelakunya menyebut kenapa PSMS dijanjikan sponsorship dari Bakrie Plantation jika mereka mengalah pada Sriwijaya FC???

ISL adalah saampah yang ingin menjadi emas, sebab segala mafia, pengaturan skor hingga kepentingan politik demi menjadi gubernur, walikota atau capres partai tertentu menjadi satu dan berbaur sesuai keinginan masing-masing. Itulah ISL dan terima kassih sudah menjadikan PSSI sebagai organisasi terburuk dengan kemunculan KPSI yang entah dari mana, tiba tiba menganggap diri menjadi ‘penyelamat’.

Jangan mengaku “pemain terbaik” Jika tidak mampu dan tidak mau membela Tim Nasional, apapun alasannya…


Salam sampah bagi KPSI,

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More